Di sebuah sore menjelang senja
Menunggu maghrib ku buka al-jazeera
Seorang gadis kecil di wawancara
Tangisnya tak henti
Puas bertanya pada dirinya sendiri
Namun jawabnya tak juga ditemui
Lalu pada wartawan ia berbagi
Kenapa rumahku luluh lantak seperti ini?
Oh wahai…
Suatu saat nanti kau pasti mengerti
Tentang semua Tanya yang menyelimuti
Tentang manusia-manusia tak bernurani
Juga, tentang saudara-saudaramu yang tak bernyali
kairo, 22 januari 2009
Selengkapnya...
Gadis Kecil Gaza
Tentang Nama Dan Keawaman Kita
saya hanya diam. karena saya memang tak tau apa-apa tentang hal itu. Tapi saya ingin percaya, karna selain temanku itu memberikan rentetan nama-nama yang dianggapnya lucu, juga karena pepatah apalah arti sebuah nama memang meluas dan berasal dari sana. artinya, meskipun nama-nama bridge, bean dan yang lain-lain tidaklah lahir dari sebuah ketidaksengajaan, namun nama-nama seperti itu tetap saja dianggap tidak lebih baik.
Jika asumsi itu benar. Mari kita bandingkan dengan budaya kita dalam memberi nama. Dalam islam (saya kira dalam agama lain juga tak jauh berbeda), dianjurkan memberi nama yang baik, punya makna yang baik pula, karena nama adalah do'a. Maka tak jarang kita temukan seorang ayah meminta bantuan pak ustash, buya, kyai atau pak imam untuk menamai anaknya yang baru lahir. atau meminjam penggalan kata dalam Alqur'an, Hadist atau kitab-kitab berbahasa arab. sampai disini, kita menyimpulkan. jika benar adanya orang barat sana berpedoman pada apalah artinya sebuah nama, maka jelas kita punya konsep yang lebih baik dalam hal ini.
Tapi nanti dulu. Saya punya pengalaman. Saya banyak menemukan nama-nama orang kita (muslim indonesia) yang tak kalah lucu dan tidak mulia. misalnya hmmm...ah saya tak ingin menyebut nama-nama itu, saya takut ada seseorang yang membaca tulisan ini dan kebetulan namanya sama seperti yang saya sebutkan lalu tersinggung. Biarlah saya mencontohkanya dengan nama saya sendiri ( berkorban neh ceritanya..hehee). Nama saya mohammad ismu. panggilan tentu saja ismu. konon nama saya diambil dari bahasa arab. Ya, nama yang saya suka. Nama yang baik. Nama yang diawali dengan Mohammad. Tokoh yang selalu saya jadikan panutan. Tapi jika benar nama saya diambil dari bahasa arab maka kata ismu bisa berarti dosa ( alif, tsa' dan mim ) dan bisa berarti nama ( alif, sin dan mim ). dan yang terakhir inilah yang akhirnya saya pilih karena lebih baik.
Anda bisa bayangkan, bagaimana sulitnya saya -yang sejak lima tahun yang lalu kuliah di sebuah negara arab (mesir)- saat mengenalkan diri atau berkenalan dengan orang arab. Siapa namamu..? nama saya nama..demikian kira-kira. waktu masih baru-baru sampai di Mesir, saya masih semangat mengenalkan nama saya sebagai ismu yang berarti nama itu. tapi hanya satu yang bisa langsung faham bahwa nama saya adalah ismu, itupun karena saya bilang my name is ismu bukan ismi ismu hehee.., selebihnya saya harus menjelaskan panjang lebar dan lama-lama saya bosan. Cukup bilang nama saya mohammad.
Saya tidak bohong. Saya banyak menemukan nama-nama yang diambil dari bahasa arab yang artinya sangat lucu dan tidak baik. kenapa ini bisa terjadi..? Tentu saya tidak tau pasti. Tapi saya berasumsi, bahwa banyak dari masyarakat kita yang masih sangat awam. Ingin menamai anak-anaknya dengan nama yang baik. Berasumsi bahwa arab adalah islam yang juga baik. lalu mengambil penggalan kata arab dari teks apapun dan menganggapnya bisa menjadi nama yang baik. Tanpa sama sekali tau maknanya baik atau tak baik. Nah, jika benar asumsi saya ini, maka dalam hal ini, kita hanya punya tuntunan yang baik, tapi tak lebih baik dari orang-orang barat sana yang berpegang pada apalah arti sebuah nama. karena apapun nama mereka, itu mereka lakukan dengan sadar. wallahu a'lam..
Sampai kapan?
Kemaren..
Kemaren hanya air putih dan rebus kentang
Yang berani menghibur perut yang meradang
Entah sejak kapan!..
Hari ini..
Hari ini sepi
Hingga malam bertambah sunyi
Kata-kata pun hanya terungkap lewat hati
Sampai kapan perut ini di isi lagi?..
Esok, Cacing-cacing perut kelaparan
Beranikan diri berbisik pelan
Sampai kapan?..
21 maret / 02 mei '08
Selengkapnya...
Dia berinisial 'S'
Kedekatan ku dengannya bermula beberapa minggu setelah menginjakkan kaki di bumi kinanah ini. Aku rela mengeluarkan lembaran-lembaran pound untuknya. Aku rela pergi jauh-jauh hanya untuk menemuinya. Tidak cukup pakai bus, biar dia dan aku bisa lebih nyaman, ku stop mobil hitam putih yang jarang sekali aku lambaikan tangan untuknya. Semua itu aku lakukan hanya untuk dia yang berinisial "S".
Sejak saat itu aku makin mengenalinya, makin akrab dengannya, ingin selalu bersamanya, begitu membutuhkanya, makin merasakan kehangatan bersamanya, tanpanya hari-hariku terasa hampa, kering tapi dingin tak berkeringat.
Kalau dulu aku sekedar dekat, tapi kini sudah makin rapat dan melekat. Aku sudah tidak peduli lagi omelan orang-orang sekelilingku yang selalu menyarankan mengurangi kemesraanku bersamanya. Aku tetap dengan cintaku bersamanya. Karna bagiku dia adalah pelindungku saat petir badai menderu, dia adalah kulit tebalku saat angin dingin menyakitiku, dia juga adalah pembungkus mimpi-mimpi indahku.
Ternyata tidak hanya orang-orang disekelilingku yang gerah dengan sikapku dan orang-orang seperti aku. Tapi hal itu aku anggap angin lalu saja, aku tau mereka berniat baik, aku hargai niat tulus mereka, tapi aku benar-benar tidak bisa lari dari kenyataan, sebuah kenyataan yang menurutku semua orang juga merasakannya.
Terkadang aku sadar, dan mestinya aku harus sadar bahwa tak pantas menyayanginya seperti itu, aku tak pantas melebihkan porsi waktuku untuknya ketimbang moqorror dan hal-hal positif lainya. Ya, aku akui, aku lebih tahan bersamanya selama satu putaran bumi dari pada baca buku atau lain sebagainya. Tapi itulah hidupku, cara hidup yang menurut kebanyakan orang harus dirubah, tapi sampai saat ini aku tetap dengan cara hidupku itu.
Duhai yang berinisial "S". Meski engkau tak seindah malam bersama jutaan bintang hiasi langit. Meski engkau tak seanggun rembulan saat purnama menjelma. Meski engkau tak selembut pelangi saat hujan meretas. Meski engkau tak seriang mentari pagi bersama kicauan burung. Tapi aku sudah cukup dengan belaianmu, belaianmu yang selembut lentik jemari bidadari surga.
Duhai yang berinisial "S". disaat aku sangat membutuhkan kehangatanmu, saat waktunya kita harus bermesraan, saat kita harus berbulan madu, saat sampai masanya dunia hanya milik kita berdua, saat mimpi-mimpi indah itu harus kita lakonkan, saat sekujur tubuhku harus berada dalam dekapmu. Tapi, saat itu pula di awal desember ini tanganku harus rela melepas kesendirianmu, aku harus rela membiarkanmu usang dan berdebu, aku harus meng-iya-kan anjuran mereka. selamat tinggal kekasihku, aku pergi untuk kembali di akhir januari nanti, oh "santamoraku" !! (baca: selimut santamora)
K 2006
Isu Emansipasi Wanita
Judul buku : al Qur'anu wa al mar'ah, I'adatu qira'ah al nash alqur'animin manzur al nisa'i
Penulis : Dr. Aminah wadud
Penerjemah : Aamia Adnan
Tebal halaman : 183 hal
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Pertama 2006
Keyakinan umat islam terhadap kebenaran tafsir para pendahulunya hampir melebihi keyakinanya pada kebenaran teks suci itu sendiri atau paling tidak sejajar, hal ini berdampak negative bukan saja dalam hal menutup pintu ijtihad dan membuka budaya taqlid, lebih dari itu –khususnya dalam diskursus gender- adalah tidak meletakkan wanita sebagai partner dalam hidup bermasyarakat, mengklaim wanita sebagai makhluk yang lemah berasal dari tulang rusuk adam, makhluk bersalah penyebab keluarnya manusia dari surga dan berbagai diskriminasi lainya yang bersentuhan langsung dalam tatanan realitas sosial.
Wanita dalam tradisi masyarakat islam selalu dikenal dan diidentikkan sebagai makhluk lemah yang hanya pantas berdiam dirumah, alih-alih dengan gampangnya mengambil potongan ayat al rijalu qowwamuna 'ala al nisa ( 4:34) sebagai legalisasi klaim tersebut. Padahal kalau mau melihat lebih dalam, pengutamaan (tafdhil) kaum lelaki terhadap perempuan dalam ayat tersebut mensyaratkan jika laki-lakilah yang memberi nafkah (bi ma anfaqu min amwalihim). Dapat kita lihat secara langsung pada realitas, baik tempo dulu terlebih di zaman ini, zamannya wanita karir, bahwa tak jarang posisi diatas berbalik menjadi wanita yang memenuhi nafkah keluarga atau paling tidak turut membantu. Namun interpretasi seperti ini tak kita temukan dalam literature-literatur tafsir klasik yang mendarah daging dalam keyakinan umat islam itu, yang ada justru memicu pada diskriminasi diatas.
Prof. Dr. Aminah Wadud seperti halnya para tokoh feminisme lainya adalah sosok yang begitu peka mendengar jeritan pembebasan diskriminasi tersebut, bahkan turut merasakannya sendiri. Dalam bukunya yang berjudul al qur'an wal mar'ah yang hanya setebal 183 halaman ini mengupas habis isu-isu gender dalam alqur'an, serta memberikan gambaran tentang wanita dalam perspektif agama yang sama sekali lain atau bahkan baru dari para pendahulunya. Beliau tentunya sangat menyesalkan diskriminasi seperti ini sempat terjadi dalam kurun waktu berabad-abad, terlebih ketika hal ini mendapatkan legalisasinya dalam hukum islam. Padahal, jelas-jelas islam datang membawa misi pembebasan dan asas persamaan. Asumsi-asumsi salah seperti inilah yang membuat peran wanita tak menonjol seperti halnya lelaki. Baginya al Qur'an bukanlah penghambat kemunduran wanita tersebut, tapi lebih pada penafsiran yang tak mampu hidup dan menemukankan relevansinya. Salah satu faktor menurutnya adalah metodologi interpretasi ulama tafsir klasik yang cenderung menggunakan metode tradisional (taqlidi/tafsir tahlili), atau menafsirkan alqur'an secara berurutan, dari awal ayat sampai ke akhir ayat, dari awal sampai ke akhir surah berurutan, dampaknya sang mufassir tak mampu mengkaji suatu objek tertentu secara intern seperti halnya dalam metode maudhu'i (tematik).
Amianh wadud –setelah melewati proses ijtihad- menyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, baik dari sisi potensi, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual maupun ruang gerak. Jikapun ada perbedaan, perbedaan itu bukanlah perbedaan substansial. Argumennya itu beliau mulai dengan menganalisis kembali ayat-ayat asal-muasal penciptaan manusia, karna persamaan dan pembebasan (al musawah wa tahrir) wanita memang harus digali dari akar sampai ke ujung dahannya. Asumsi bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam, dan diciptakan untuk menemani adam yang kesepian di surga, serta hawa pulalah penyebab diusirnya adam dari surga cukup membuat gerah alam pikiranya. Semisal surah an nisa' : 1 "kholaqokum min nafsin wahidah wa kholaqokum minha zaujaha wa batssa minhuma rijalan katsiran wa nisa'an" selalu disalah artikan dan mengabaikan sisi-sisi persamaan penciptaan antara adam dan hawa. Dalam menganalisis ayat ini ada beberapa kosa kata (lafh) yang menjadi konsen perhatiannya: min, nafs dan zauj. Lafh min setidaknya punya dua makna, baik ia berfungsi sebagai harf al jar yang berarti mengambil sesuatu dari yang lain (istikhlasu syai'in min syai'in akhor), maupun untuk menunjukan suatu esensi yang sama (min nafsin nau'). Hanya sampai pada lafh ini saja, dengan mengambil makna kedua, kita sudah memulai membangun argumen persamaan penciptaan antara kaum laki-laki dan kaum hawa, dalam artian merobohkan klaim bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam. Selanjutnya, lafh nafs dan zauj -yang baginya lebih penting untuk di pahami kembali ketimbang lafh min- beliau cermati secara utuh baik dari sisi makna maupun linguistik, tentunya anda akan lebih jelas setelah membaca buku ini.
Isu-isu persamaan hak dan kewajiban yang kini sedang marak didikusikan: talak, poligami, persaksian (al syahadah), waris dan lain-lain tak luput dari perhatiannya dalam buku ini. Baginya wanita muslimah harus ikut berperan dan memberikan kontribusinya dalam hidup bermasyarakat, cukup na'if rasanya jika perempuan di zaman ini kalah penting ketimbang perempuan dahulu, al Qur'an maupun al Sunnah sendiri banyak berkisah tentang kiprah para istri nabi-nabi dalam berdakwah menyampaikan ajaran tauhid, wanita-wanita pejuang yang bahkan turun langsung ke medan perang membantu kaum laki-laki saat menghadapi musuh, membantu merawat tentara islam yang sedang terluka dengan membalut luka-luka mereka. Ummu Amarah misalnya, adalah pejuang wanita dari kalangan sahabat Nabi SAW.yang dengan gigih menjadi tameng nabi dari gempuran musuh-musuhnya saat para sahabat melarikan diri dalam perang uhud. Kisah-kisah seperti itu semestinya cukup memotivasi wanita muslimah untuk berbuat serupa.
Terakhir, kendati buku ini sudah terbilang lama, namun isu-isu yang diangkat dalam buku ini masih sangat hangat untuk kita perbincangkan saat ini. Dalam kesempatan ini saya ingin katakan, sebuah buku yang ditulis melalui pisau analisis tajam ini, layak dibaca oleh siapapun, tentunya dengan pisau analisis kekinian yang tajam pula. Karena dari tradisi seperti inilah justru sebuah ide dan gagasan pada akhirnya mencapai puncak kematangan. Selamat membaca!
Perubahan apa?
Pun, desiran angin dari timur sana
Dari tanah tak berumput
Negrinya orang orang berjanggut
Bosan dengan tingkahmu
Tak tahan dengan desingan peluru
Terlebih anyir ceceran darah darah itu
Konon, demi sebuah perubahan!
Tak pernahkah kau lihat mereka menangis
Dan bumi ini akan dibanjiri oleh mata mata yang gerimis
Lalu menyungai bersama genangan darah darah amis
Dan menyatu pada semua rekaman peristiwa peristiwa tragis
Ulah tangan manusia manusia tamak dan egois
Tapi dunia diam, bisu, sepi dan sunyi
Seakan tuhan tak pernah ciptakan bunyi
Perubahan?
Ya, perubahan adalah senja bersama mega yang menggiring manusia manusia
kelaparan menuju kelamnya longkang longkang malam
Perubahan itu adalah malam malam keramat bersama kemerlip gemintang yang gugur menjelma nuklir nuklir pemusnah massal
Perubahan itu adalah kemuning fajar yang menyadarkan manusia tidur beratap langit bangunan alam
Dan perubahan itu adalah terik siang dalam panas tenda tenda reot kamp kamp pengungsian
Mereka, seakan bersiap menjemput kematian
Ayo di mana nuranimu kawan?
K 2007
Selengkapnya...
Perjalanan Politik Syi'ah
Penulis : Ahmad al Katib
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Ketiga, 2005
ISBN : 9953-29-872-6
Terminology Syi'ah sudah muncul di kurun pertama hijriah sebagai sebutan bagi pengikut imam Ali bin Abi Thalib saat berhadapan dengan pengikut mu'wiyah atau klan Abi Sufyan, atau lebih tepatnya Syi'ah adalah golongan yang lebih mendahulukan Ali ra. sebagai khalifah dari sahabat-sahabat lain. Lalu muncul terminology imamiyah di kurun kedua hijriah dalam tubuh syi'ah karena keyakinan mereka bahwa kema'suman dan nash ilahi adalah syarat bagi seorang pemimpin. Di kurun empat hijriah muncul pula terminology istna asyariyah, sebuah sebutan bagi golongan syi'ah yang meyakini kelahiran dan keabadian imam kedua belas (Muhammad bin al Hasan al 'askari). Fakta diatas adalah gambaran betapa sebuah ideology –syi'ah- berkembang di bawah bebayang politik yang mencoba menyelaraskannya dengan agama, atau mungkin sebaliknya.
Kendati kita tau, syi'ah – imamiyah itsna 'asyariah- dalam rentang sejarah yang panjang mendirikan banyak Negara, tapi konon itu semua hanyalah percobaan politik belaka (dual siyasah bahtah, atau ghoiru aidulujiah) tanpa diembel-embeli ideologi islam-syi'ah itsna asyariah. Baru kemudian republik islam yang berdiri di Iran di penghujung abad 14 hijriah adalah Negara syi'ah pertama yang sesungguhnya bagi mereka. Semua itu berjalan melewati tahap-tahap pemikiran politik syi'ah yang sangat rumit. Diawali sejak menghilangnya imam Muhammad Hasan al askari, imam kedua belas (tokoh al mahdi al muntazhor dalam syi'ah istna asyariyah) di pertengahan abad 3 hijriah, lalu munculah teori penantian (nazhoriyah al intizhor – menanti kembalinya sang imam) dalam teologi politik syiah, karena bagi mereka pemimpin adalah ma'sum dan dipilih langsung oleh allah swt, pemimpin adalah orang-orang pilihan tertentu dari golongan ahlul bait, dan bernegara bukan hanya urusan duniawi belaka. Maka bernegara tanpa hadirnya imam yang memenuhi syarat di atas adalah mustahil. Bagi mereka imam adalah segalanya, izin sang imam seakan menjadi standar penilaian sah-tidaknya suatu pekerjaan dilakukan. Dari sinilah kefakuman politik syiah istna asyariah di mulai, pintu ijtihad pun di tutup, berbagai permasalahan agama muncul menanti jawabnya.
Masa ini (asrul intizhor ), berjalan menghabiskan rentang waktu yang cukup panjang, sampai akhirnya pintu ijtihad di buka kembali, berbagai gejolak pemikiran saling beradu dan berkembang secara bertahap menghadapi krisis ini. Hasilnya cukup memuaskan, secara bertahap pula tentunya. Sholat jum'at misalnya, yang sebelumnya sempat di tiadakan (diharamkan) karena dianggap hilangnya salah satu rukunnya (izin sang imam ) kembali di perbolehkan bahkan diwajibkan, disatu sisi (fiqih). Di sisi lain (politik), keberhasilan melepaskan diri dari belenggu doktrin penantian adalah perkembangan besar dalam pemikiran politik syiah, puncaknya adalah munculnya gagasan wilayatul faqih yang turut menginspirasi kesuksesan besar dalam revolusi Iran 1979.
Ahmad al Katib, pengarang buku ini, yang menurut pengakuannya, menghabiskan waktu hingga sepuluh tahun lebih dalam studi syi'ah ini, dengan sangat jeli menganalisa perkembangan pemikiran politik syiah dari 'asrul awa'il sampai ke 'asrul hadist, mengemukakan banyak kritik dan pertanyaan yang mengusik alam pikiranya, menguak dengan hujah-hujah periwayatan (naql), filosofis dan historis. Baginya tak ada perbedaan substansial antara ummat islam hari ini, konflik yang pernah terjadi adalah konflik politik masa lalu yang sudah seharusnya dilupakan dan di benam jauh dari alam pikiran umat islam. Dan untuk itulah buku ini di tulis agar kita bisa belajar banyak dari kecerobohan sejarah, mencari inspirasi kebangkitan dan memilih mengambil ibrahnya agar tak lagi terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Dan untuk itu pulalah anda harus merasa perlu membaca buku ini. Wallahu a'lam.