Judul buku : al Qur'anu wa al mar'ah, I'adatu qira'ah al nash alqur'animin manzur al nisa'i
Penulis : Dr. Aminah wadud
Penerjemah : Aamia Adnan
Tebal halaman : 183 hal
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Pertama 2006
Dalam rentang masa empat belas abad, tafsir hampir hanya di geluti oleh kaum lelaki. Ini yang di sebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai hegemoni tafsir. Hal ini dapat kita buktikan dengan melihat ke perpustakaan manapun akan kita temukan tumpukan literatur tafsir klasik karangan para pejubah (lelaki), tak mustahil jika mereka sedikit mengabaikan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan ketika bersentuhan dengan isu-isu gender dalam ayat-ayat al qur'an. Fakta tersebut di perparah oleh umat islam dengan meyakininya sebagai kebenaran islam itu sendiri.
Keyakinan umat islam terhadap kebenaran tafsir para pendahulunya hampir melebihi keyakinanya pada kebenaran teks suci itu sendiri atau paling tidak sejajar, hal ini berdampak negative bukan saja dalam hal menutup pintu ijtihad dan membuka budaya taqlid, lebih dari itu –khususnya dalam diskursus gender- adalah tidak meletakkan wanita sebagai partner dalam hidup bermasyarakat, mengklaim wanita sebagai makhluk yang lemah berasal dari tulang rusuk adam, makhluk bersalah penyebab keluarnya manusia dari surga dan berbagai diskriminasi lainya yang bersentuhan langsung dalam tatanan realitas sosial.
Wanita dalam tradisi masyarakat islam selalu dikenal dan diidentikkan sebagai makhluk lemah yang hanya pantas berdiam dirumah, alih-alih dengan gampangnya mengambil potongan ayat al rijalu qowwamuna 'ala al nisa ( 4:34) sebagai legalisasi klaim tersebut. Padahal kalau mau melihat lebih dalam, pengutamaan (tafdhil) kaum lelaki terhadap perempuan dalam ayat tersebut mensyaratkan jika laki-lakilah yang memberi nafkah (bi ma anfaqu min amwalihim). Dapat kita lihat secara langsung pada realitas, baik tempo dulu terlebih di zaman ini, zamannya wanita karir, bahwa tak jarang posisi diatas berbalik menjadi wanita yang memenuhi nafkah keluarga atau paling tidak turut membantu. Namun interpretasi seperti ini tak kita temukan dalam literature-literatur tafsir klasik yang mendarah daging dalam keyakinan umat islam itu, yang ada justru memicu pada diskriminasi diatas.
Prof. Dr. Aminah Wadud seperti halnya para tokoh feminisme lainya adalah sosok yang begitu peka mendengar jeritan pembebasan diskriminasi tersebut, bahkan turut merasakannya sendiri. Dalam bukunya yang berjudul al qur'an wal mar'ah yang hanya setebal 183 halaman ini mengupas habis isu-isu gender dalam alqur'an, serta memberikan gambaran tentang wanita dalam perspektif agama yang sama sekali lain atau bahkan baru dari para pendahulunya. Beliau tentunya sangat menyesalkan diskriminasi seperti ini sempat terjadi dalam kurun waktu berabad-abad, terlebih ketika hal ini mendapatkan legalisasinya dalam hukum islam. Padahal, jelas-jelas islam datang membawa misi pembebasan dan asas persamaan. Asumsi-asumsi salah seperti inilah yang membuat peran wanita tak menonjol seperti halnya lelaki. Baginya al Qur'an bukanlah penghambat kemunduran wanita tersebut, tapi lebih pada penafsiran yang tak mampu hidup dan menemukankan relevansinya. Salah satu faktor menurutnya adalah metodologi interpretasi ulama tafsir klasik yang cenderung menggunakan metode tradisional (taqlidi/tafsir tahlili), atau menafsirkan alqur'an secara berurutan, dari awal ayat sampai ke akhir ayat, dari awal sampai ke akhir surah berurutan, dampaknya sang mufassir tak mampu mengkaji suatu objek tertentu secara intern seperti halnya dalam metode maudhu'i (tematik).
Amianh wadud –setelah melewati proses ijtihad- menyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, baik dari sisi potensi, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual maupun ruang gerak. Jikapun ada perbedaan, perbedaan itu bukanlah perbedaan substansial. Argumennya itu beliau mulai dengan menganalisis kembali ayat-ayat asal-muasal penciptaan manusia, karna persamaan dan pembebasan (al musawah wa tahrir) wanita memang harus digali dari akar sampai ke ujung dahannya. Asumsi bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam, dan diciptakan untuk menemani adam yang kesepian di surga, serta hawa pulalah penyebab diusirnya adam dari surga cukup membuat gerah alam pikiranya. Semisal surah an nisa' : 1 "kholaqokum min nafsin wahidah wa kholaqokum minha zaujaha wa batssa minhuma rijalan katsiran wa nisa'an" selalu disalah artikan dan mengabaikan sisi-sisi persamaan penciptaan antara adam dan hawa. Dalam menganalisis ayat ini ada beberapa kosa kata (lafh) yang menjadi konsen perhatiannya: min, nafs dan zauj. Lafh min setidaknya punya dua makna, baik ia berfungsi sebagai harf al jar yang berarti mengambil sesuatu dari yang lain (istikhlasu syai'in min syai'in akhor), maupun untuk menunjukan suatu esensi yang sama (min nafsin nau'). Hanya sampai pada lafh ini saja, dengan mengambil makna kedua, kita sudah memulai membangun argumen persamaan penciptaan antara kaum laki-laki dan kaum hawa, dalam artian merobohkan klaim bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam. Selanjutnya, lafh nafs dan zauj -yang baginya lebih penting untuk di pahami kembali ketimbang lafh min- beliau cermati secara utuh baik dari sisi makna maupun linguistik, tentunya anda akan lebih jelas setelah membaca buku ini.
Isu-isu persamaan hak dan kewajiban yang kini sedang marak didikusikan: talak, poligami, persaksian (al syahadah), waris dan lain-lain tak luput dari perhatiannya dalam buku ini. Baginya wanita muslimah harus ikut berperan dan memberikan kontribusinya dalam hidup bermasyarakat, cukup na'if rasanya jika perempuan di zaman ini kalah penting ketimbang perempuan dahulu, al Qur'an maupun al Sunnah sendiri banyak berkisah tentang kiprah para istri nabi-nabi dalam berdakwah menyampaikan ajaran tauhid, wanita-wanita pejuang yang bahkan turun langsung ke medan perang membantu kaum laki-laki saat menghadapi musuh, membantu merawat tentara islam yang sedang terluka dengan membalut luka-luka mereka. Ummu Amarah misalnya, adalah pejuang wanita dari kalangan sahabat Nabi SAW.yang dengan gigih menjadi tameng nabi dari gempuran musuh-musuhnya saat para sahabat melarikan diri dalam perang uhud. Kisah-kisah seperti itu semestinya cukup memotivasi wanita muslimah untuk berbuat serupa.
Terakhir, kendati buku ini sudah terbilang lama, namun isu-isu yang diangkat dalam buku ini masih sangat hangat untuk kita perbincangkan saat ini. Dalam kesempatan ini saya ingin katakan, sebuah buku yang ditulis melalui pisau analisis tajam ini, layak dibaca oleh siapapun, tentunya dengan pisau analisis kekinian yang tajam pula. Karena dari tradisi seperti inilah justru sebuah ide dan gagasan pada akhirnya mencapai puncak kematangan. Selamat membaca!
Keyakinan umat islam terhadap kebenaran tafsir para pendahulunya hampir melebihi keyakinanya pada kebenaran teks suci itu sendiri atau paling tidak sejajar, hal ini berdampak negative bukan saja dalam hal menutup pintu ijtihad dan membuka budaya taqlid, lebih dari itu –khususnya dalam diskursus gender- adalah tidak meletakkan wanita sebagai partner dalam hidup bermasyarakat, mengklaim wanita sebagai makhluk yang lemah berasal dari tulang rusuk adam, makhluk bersalah penyebab keluarnya manusia dari surga dan berbagai diskriminasi lainya yang bersentuhan langsung dalam tatanan realitas sosial.
Wanita dalam tradisi masyarakat islam selalu dikenal dan diidentikkan sebagai makhluk lemah yang hanya pantas berdiam dirumah, alih-alih dengan gampangnya mengambil potongan ayat al rijalu qowwamuna 'ala al nisa ( 4:34) sebagai legalisasi klaim tersebut. Padahal kalau mau melihat lebih dalam, pengutamaan (tafdhil) kaum lelaki terhadap perempuan dalam ayat tersebut mensyaratkan jika laki-lakilah yang memberi nafkah (bi ma anfaqu min amwalihim). Dapat kita lihat secara langsung pada realitas, baik tempo dulu terlebih di zaman ini, zamannya wanita karir, bahwa tak jarang posisi diatas berbalik menjadi wanita yang memenuhi nafkah keluarga atau paling tidak turut membantu. Namun interpretasi seperti ini tak kita temukan dalam literature-literatur tafsir klasik yang mendarah daging dalam keyakinan umat islam itu, yang ada justru memicu pada diskriminasi diatas.
Prof. Dr. Aminah Wadud seperti halnya para tokoh feminisme lainya adalah sosok yang begitu peka mendengar jeritan pembebasan diskriminasi tersebut, bahkan turut merasakannya sendiri. Dalam bukunya yang berjudul al qur'an wal mar'ah yang hanya setebal 183 halaman ini mengupas habis isu-isu gender dalam alqur'an, serta memberikan gambaran tentang wanita dalam perspektif agama yang sama sekali lain atau bahkan baru dari para pendahulunya. Beliau tentunya sangat menyesalkan diskriminasi seperti ini sempat terjadi dalam kurun waktu berabad-abad, terlebih ketika hal ini mendapatkan legalisasinya dalam hukum islam. Padahal, jelas-jelas islam datang membawa misi pembebasan dan asas persamaan. Asumsi-asumsi salah seperti inilah yang membuat peran wanita tak menonjol seperti halnya lelaki. Baginya al Qur'an bukanlah penghambat kemunduran wanita tersebut, tapi lebih pada penafsiran yang tak mampu hidup dan menemukankan relevansinya. Salah satu faktor menurutnya adalah metodologi interpretasi ulama tafsir klasik yang cenderung menggunakan metode tradisional (taqlidi/tafsir tahlili), atau menafsirkan alqur'an secara berurutan, dari awal ayat sampai ke akhir ayat, dari awal sampai ke akhir surah berurutan, dampaknya sang mufassir tak mampu mengkaji suatu objek tertentu secara intern seperti halnya dalam metode maudhu'i (tematik).
Amianh wadud –setelah melewati proses ijtihad- menyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, baik dari sisi potensi, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual maupun ruang gerak. Jikapun ada perbedaan, perbedaan itu bukanlah perbedaan substansial. Argumennya itu beliau mulai dengan menganalisis kembali ayat-ayat asal-muasal penciptaan manusia, karna persamaan dan pembebasan (al musawah wa tahrir) wanita memang harus digali dari akar sampai ke ujung dahannya. Asumsi bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam, dan diciptakan untuk menemani adam yang kesepian di surga, serta hawa pulalah penyebab diusirnya adam dari surga cukup membuat gerah alam pikiranya. Semisal surah an nisa' : 1 "kholaqokum min nafsin wahidah wa kholaqokum minha zaujaha wa batssa minhuma rijalan katsiran wa nisa'an" selalu disalah artikan dan mengabaikan sisi-sisi persamaan penciptaan antara adam dan hawa. Dalam menganalisis ayat ini ada beberapa kosa kata (lafh) yang menjadi konsen perhatiannya: min, nafs dan zauj. Lafh min setidaknya punya dua makna, baik ia berfungsi sebagai harf al jar yang berarti mengambil sesuatu dari yang lain (istikhlasu syai'in min syai'in akhor), maupun untuk menunjukan suatu esensi yang sama (min nafsin nau'). Hanya sampai pada lafh ini saja, dengan mengambil makna kedua, kita sudah memulai membangun argumen persamaan penciptaan antara kaum laki-laki dan kaum hawa, dalam artian merobohkan klaim bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam. Selanjutnya, lafh nafs dan zauj -yang baginya lebih penting untuk di pahami kembali ketimbang lafh min- beliau cermati secara utuh baik dari sisi makna maupun linguistik, tentunya anda akan lebih jelas setelah membaca buku ini.
Isu-isu persamaan hak dan kewajiban yang kini sedang marak didikusikan: talak, poligami, persaksian (al syahadah), waris dan lain-lain tak luput dari perhatiannya dalam buku ini. Baginya wanita muslimah harus ikut berperan dan memberikan kontribusinya dalam hidup bermasyarakat, cukup na'if rasanya jika perempuan di zaman ini kalah penting ketimbang perempuan dahulu, al Qur'an maupun al Sunnah sendiri banyak berkisah tentang kiprah para istri nabi-nabi dalam berdakwah menyampaikan ajaran tauhid, wanita-wanita pejuang yang bahkan turun langsung ke medan perang membantu kaum laki-laki saat menghadapi musuh, membantu merawat tentara islam yang sedang terluka dengan membalut luka-luka mereka. Ummu Amarah misalnya, adalah pejuang wanita dari kalangan sahabat Nabi SAW.yang dengan gigih menjadi tameng nabi dari gempuran musuh-musuhnya saat para sahabat melarikan diri dalam perang uhud. Kisah-kisah seperti itu semestinya cukup memotivasi wanita muslimah untuk berbuat serupa.
Terakhir, kendati buku ini sudah terbilang lama, namun isu-isu yang diangkat dalam buku ini masih sangat hangat untuk kita perbincangkan saat ini. Dalam kesempatan ini saya ingin katakan, sebuah buku yang ditulis melalui pisau analisis tajam ini, layak dibaca oleh siapapun, tentunya dengan pisau analisis kekinian yang tajam pula. Karena dari tradisi seperti inilah justru sebuah ide dan gagasan pada akhirnya mencapai puncak kematangan. Selamat membaca!
0 komentar:
Posting Komentar