Kemaren..
Kemaren hanya air putih dan rebus kentang
Yang berani menghibur perut yang meradang
Entah sejak kapan!..
Hari ini..
Hari ini sepi
Hingga malam bertambah sunyi
Kata-kata pun hanya terungkap lewat hati
Sampai kapan perut ini di isi lagi?..
Esok, Cacing-cacing perut kelaparan
Beranikan diri berbisik pelan
Sampai kapan?..
21 maret / 02 mei '08
Selengkapnya...
Sampai kapan?
Dia berinisial 'S'
Kedekatan ku dengannya bermula beberapa minggu setelah menginjakkan kaki di bumi kinanah ini. Aku rela mengeluarkan lembaran-lembaran pound untuknya. Aku rela pergi jauh-jauh hanya untuk menemuinya. Tidak cukup pakai bus, biar dia dan aku bisa lebih nyaman, ku stop mobil hitam putih yang jarang sekali aku lambaikan tangan untuknya. Semua itu aku lakukan hanya untuk dia yang berinisial "S".
Sejak saat itu aku makin mengenalinya, makin akrab dengannya, ingin selalu bersamanya, begitu membutuhkanya, makin merasakan kehangatan bersamanya, tanpanya hari-hariku terasa hampa, kering tapi dingin tak berkeringat.
Kalau dulu aku sekedar dekat, tapi kini sudah makin rapat dan melekat. Aku sudah tidak peduli lagi omelan orang-orang sekelilingku yang selalu menyarankan mengurangi kemesraanku bersamanya. Aku tetap dengan cintaku bersamanya. Karna bagiku dia adalah pelindungku saat petir badai menderu, dia adalah kulit tebalku saat angin dingin menyakitiku, dia juga adalah pembungkus mimpi-mimpi indahku.
Ternyata tidak hanya orang-orang disekelilingku yang gerah dengan sikapku dan orang-orang seperti aku. Tapi hal itu aku anggap angin lalu saja, aku tau mereka berniat baik, aku hargai niat tulus mereka, tapi aku benar-benar tidak bisa lari dari kenyataan, sebuah kenyataan yang menurutku semua orang juga merasakannya.
Terkadang aku sadar, dan mestinya aku harus sadar bahwa tak pantas menyayanginya seperti itu, aku tak pantas melebihkan porsi waktuku untuknya ketimbang moqorror dan hal-hal positif lainya. Ya, aku akui, aku lebih tahan bersamanya selama satu putaran bumi dari pada baca buku atau lain sebagainya. Tapi itulah hidupku, cara hidup yang menurut kebanyakan orang harus dirubah, tapi sampai saat ini aku tetap dengan cara hidupku itu.
Duhai yang berinisial "S". Meski engkau tak seindah malam bersama jutaan bintang hiasi langit. Meski engkau tak seanggun rembulan saat purnama menjelma. Meski engkau tak selembut pelangi saat hujan meretas. Meski engkau tak seriang mentari pagi bersama kicauan burung. Tapi aku sudah cukup dengan belaianmu, belaianmu yang selembut lentik jemari bidadari surga.
Duhai yang berinisial "S". disaat aku sangat membutuhkan kehangatanmu, saat waktunya kita harus bermesraan, saat kita harus berbulan madu, saat sampai masanya dunia hanya milik kita berdua, saat mimpi-mimpi indah itu harus kita lakonkan, saat sekujur tubuhku harus berada dalam dekapmu. Tapi, saat itu pula di awal desember ini tanganku harus rela melepas kesendirianmu, aku harus rela membiarkanmu usang dan berdebu, aku harus meng-iya-kan anjuran mereka. selamat tinggal kekasihku, aku pergi untuk kembali di akhir januari nanti, oh "santamoraku" !! (baca: selimut santamora)
K 2006
Isu Emansipasi Wanita
Judul buku : al Qur'anu wa al mar'ah, I'adatu qira'ah al nash alqur'animin manzur al nisa'i
Penulis : Dr. Aminah wadud
Penerjemah : Aamia Adnan
Tebal halaman : 183 hal
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Pertama 2006
Keyakinan umat islam terhadap kebenaran tafsir para pendahulunya hampir melebihi keyakinanya pada kebenaran teks suci itu sendiri atau paling tidak sejajar, hal ini berdampak negative bukan saja dalam hal menutup pintu ijtihad dan membuka budaya taqlid, lebih dari itu –khususnya dalam diskursus gender- adalah tidak meletakkan wanita sebagai partner dalam hidup bermasyarakat, mengklaim wanita sebagai makhluk yang lemah berasal dari tulang rusuk adam, makhluk bersalah penyebab keluarnya manusia dari surga dan berbagai diskriminasi lainya yang bersentuhan langsung dalam tatanan realitas sosial.
Wanita dalam tradisi masyarakat islam selalu dikenal dan diidentikkan sebagai makhluk lemah yang hanya pantas berdiam dirumah, alih-alih dengan gampangnya mengambil potongan ayat al rijalu qowwamuna 'ala al nisa ( 4:34) sebagai legalisasi klaim tersebut. Padahal kalau mau melihat lebih dalam, pengutamaan (tafdhil) kaum lelaki terhadap perempuan dalam ayat tersebut mensyaratkan jika laki-lakilah yang memberi nafkah (bi ma anfaqu min amwalihim). Dapat kita lihat secara langsung pada realitas, baik tempo dulu terlebih di zaman ini, zamannya wanita karir, bahwa tak jarang posisi diatas berbalik menjadi wanita yang memenuhi nafkah keluarga atau paling tidak turut membantu. Namun interpretasi seperti ini tak kita temukan dalam literature-literatur tafsir klasik yang mendarah daging dalam keyakinan umat islam itu, yang ada justru memicu pada diskriminasi diatas.
Prof. Dr. Aminah Wadud seperti halnya para tokoh feminisme lainya adalah sosok yang begitu peka mendengar jeritan pembebasan diskriminasi tersebut, bahkan turut merasakannya sendiri. Dalam bukunya yang berjudul al qur'an wal mar'ah yang hanya setebal 183 halaman ini mengupas habis isu-isu gender dalam alqur'an, serta memberikan gambaran tentang wanita dalam perspektif agama yang sama sekali lain atau bahkan baru dari para pendahulunya. Beliau tentunya sangat menyesalkan diskriminasi seperti ini sempat terjadi dalam kurun waktu berabad-abad, terlebih ketika hal ini mendapatkan legalisasinya dalam hukum islam. Padahal, jelas-jelas islam datang membawa misi pembebasan dan asas persamaan. Asumsi-asumsi salah seperti inilah yang membuat peran wanita tak menonjol seperti halnya lelaki. Baginya al Qur'an bukanlah penghambat kemunduran wanita tersebut, tapi lebih pada penafsiran yang tak mampu hidup dan menemukankan relevansinya. Salah satu faktor menurutnya adalah metodologi interpretasi ulama tafsir klasik yang cenderung menggunakan metode tradisional (taqlidi/tafsir tahlili), atau menafsirkan alqur'an secara berurutan, dari awal ayat sampai ke akhir ayat, dari awal sampai ke akhir surah berurutan, dampaknya sang mufassir tak mampu mengkaji suatu objek tertentu secara intern seperti halnya dalam metode maudhu'i (tematik).
Amianh wadud –setelah melewati proses ijtihad- menyakini bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, baik dari sisi potensi, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual maupun ruang gerak. Jikapun ada perbedaan, perbedaan itu bukanlah perbedaan substansial. Argumennya itu beliau mulai dengan menganalisis kembali ayat-ayat asal-muasal penciptaan manusia, karna persamaan dan pembebasan (al musawah wa tahrir) wanita memang harus digali dari akar sampai ke ujung dahannya. Asumsi bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam, dan diciptakan untuk menemani adam yang kesepian di surga, serta hawa pulalah penyebab diusirnya adam dari surga cukup membuat gerah alam pikiranya. Semisal surah an nisa' : 1 "kholaqokum min nafsin wahidah wa kholaqokum minha zaujaha wa batssa minhuma rijalan katsiran wa nisa'an" selalu disalah artikan dan mengabaikan sisi-sisi persamaan penciptaan antara adam dan hawa. Dalam menganalisis ayat ini ada beberapa kosa kata (lafh) yang menjadi konsen perhatiannya: min, nafs dan zauj. Lafh min setidaknya punya dua makna, baik ia berfungsi sebagai harf al jar yang berarti mengambil sesuatu dari yang lain (istikhlasu syai'in min syai'in akhor), maupun untuk menunjukan suatu esensi yang sama (min nafsin nau'). Hanya sampai pada lafh ini saja, dengan mengambil makna kedua, kita sudah memulai membangun argumen persamaan penciptaan antara kaum laki-laki dan kaum hawa, dalam artian merobohkan klaim bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk adam. Selanjutnya, lafh nafs dan zauj -yang baginya lebih penting untuk di pahami kembali ketimbang lafh min- beliau cermati secara utuh baik dari sisi makna maupun linguistik, tentunya anda akan lebih jelas setelah membaca buku ini.
Isu-isu persamaan hak dan kewajiban yang kini sedang marak didikusikan: talak, poligami, persaksian (al syahadah), waris dan lain-lain tak luput dari perhatiannya dalam buku ini. Baginya wanita muslimah harus ikut berperan dan memberikan kontribusinya dalam hidup bermasyarakat, cukup na'if rasanya jika perempuan di zaman ini kalah penting ketimbang perempuan dahulu, al Qur'an maupun al Sunnah sendiri banyak berkisah tentang kiprah para istri nabi-nabi dalam berdakwah menyampaikan ajaran tauhid, wanita-wanita pejuang yang bahkan turun langsung ke medan perang membantu kaum laki-laki saat menghadapi musuh, membantu merawat tentara islam yang sedang terluka dengan membalut luka-luka mereka. Ummu Amarah misalnya, adalah pejuang wanita dari kalangan sahabat Nabi SAW.yang dengan gigih menjadi tameng nabi dari gempuran musuh-musuhnya saat para sahabat melarikan diri dalam perang uhud. Kisah-kisah seperti itu semestinya cukup memotivasi wanita muslimah untuk berbuat serupa.
Terakhir, kendati buku ini sudah terbilang lama, namun isu-isu yang diangkat dalam buku ini masih sangat hangat untuk kita perbincangkan saat ini. Dalam kesempatan ini saya ingin katakan, sebuah buku yang ditulis melalui pisau analisis tajam ini, layak dibaca oleh siapapun, tentunya dengan pisau analisis kekinian yang tajam pula. Karena dari tradisi seperti inilah justru sebuah ide dan gagasan pada akhirnya mencapai puncak kematangan. Selamat membaca!
Perubahan apa?
Pun, desiran angin dari timur sana
Dari tanah tak berumput
Negrinya orang orang berjanggut
Bosan dengan tingkahmu
Tak tahan dengan desingan peluru
Terlebih anyir ceceran darah darah itu
Konon, demi sebuah perubahan!
Tak pernahkah kau lihat mereka menangis
Dan bumi ini akan dibanjiri oleh mata mata yang gerimis
Lalu menyungai bersama genangan darah darah amis
Dan menyatu pada semua rekaman peristiwa peristiwa tragis
Ulah tangan manusia manusia tamak dan egois
Tapi dunia diam, bisu, sepi dan sunyi
Seakan tuhan tak pernah ciptakan bunyi
Perubahan?
Ya, perubahan adalah senja bersama mega yang menggiring manusia manusia
kelaparan menuju kelamnya longkang longkang malam
Perubahan itu adalah malam malam keramat bersama kemerlip gemintang yang gugur menjelma nuklir nuklir pemusnah massal
Perubahan itu adalah kemuning fajar yang menyadarkan manusia tidur beratap langit bangunan alam
Dan perubahan itu adalah terik siang dalam panas tenda tenda reot kamp kamp pengungsian
Mereka, seakan bersiap menjemput kematian
Ayo di mana nuranimu kawan?
K 2007
Selengkapnya...
Perjalanan Politik Syi'ah
Penulis : Ahmad al Katib
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Ketiga, 2005
ISBN : 9953-29-872-6
Terminology Syi'ah sudah muncul di kurun pertama hijriah sebagai sebutan bagi pengikut imam Ali bin Abi Thalib saat berhadapan dengan pengikut mu'wiyah atau klan Abi Sufyan, atau lebih tepatnya Syi'ah adalah golongan yang lebih mendahulukan Ali ra. sebagai khalifah dari sahabat-sahabat lain. Lalu muncul terminology imamiyah di kurun kedua hijriah dalam tubuh syi'ah karena keyakinan mereka bahwa kema'suman dan nash ilahi adalah syarat bagi seorang pemimpin. Di kurun empat hijriah muncul pula terminology istna asyariyah, sebuah sebutan bagi golongan syi'ah yang meyakini kelahiran dan keabadian imam kedua belas (Muhammad bin al Hasan al 'askari). Fakta diatas adalah gambaran betapa sebuah ideology –syi'ah- berkembang di bawah bebayang politik yang mencoba menyelaraskannya dengan agama, atau mungkin sebaliknya.
Kendati kita tau, syi'ah – imamiyah itsna 'asyariah- dalam rentang sejarah yang panjang mendirikan banyak Negara, tapi konon itu semua hanyalah percobaan politik belaka (dual siyasah bahtah, atau ghoiru aidulujiah) tanpa diembel-embeli ideologi islam-syi'ah itsna asyariah. Baru kemudian republik islam yang berdiri di Iran di penghujung abad 14 hijriah adalah Negara syi'ah pertama yang sesungguhnya bagi mereka. Semua itu berjalan melewati tahap-tahap pemikiran politik syi'ah yang sangat rumit. Diawali sejak menghilangnya imam Muhammad Hasan al askari, imam kedua belas (tokoh al mahdi al muntazhor dalam syi'ah istna asyariyah) di pertengahan abad 3 hijriah, lalu munculah teori penantian (nazhoriyah al intizhor – menanti kembalinya sang imam) dalam teologi politik syiah, karena bagi mereka pemimpin adalah ma'sum dan dipilih langsung oleh allah swt, pemimpin adalah orang-orang pilihan tertentu dari golongan ahlul bait, dan bernegara bukan hanya urusan duniawi belaka. Maka bernegara tanpa hadirnya imam yang memenuhi syarat di atas adalah mustahil. Bagi mereka imam adalah segalanya, izin sang imam seakan menjadi standar penilaian sah-tidaknya suatu pekerjaan dilakukan. Dari sinilah kefakuman politik syiah istna asyariah di mulai, pintu ijtihad pun di tutup, berbagai permasalahan agama muncul menanti jawabnya.
Masa ini (asrul intizhor ), berjalan menghabiskan rentang waktu yang cukup panjang, sampai akhirnya pintu ijtihad di buka kembali, berbagai gejolak pemikiran saling beradu dan berkembang secara bertahap menghadapi krisis ini. Hasilnya cukup memuaskan, secara bertahap pula tentunya. Sholat jum'at misalnya, yang sebelumnya sempat di tiadakan (diharamkan) karena dianggap hilangnya salah satu rukunnya (izin sang imam ) kembali di perbolehkan bahkan diwajibkan, disatu sisi (fiqih). Di sisi lain (politik), keberhasilan melepaskan diri dari belenggu doktrin penantian adalah perkembangan besar dalam pemikiran politik syiah, puncaknya adalah munculnya gagasan wilayatul faqih yang turut menginspirasi kesuksesan besar dalam revolusi Iran 1979.
Ahmad al Katib, pengarang buku ini, yang menurut pengakuannya, menghabiskan waktu hingga sepuluh tahun lebih dalam studi syi'ah ini, dengan sangat jeli menganalisa perkembangan pemikiran politik syiah dari 'asrul awa'il sampai ke 'asrul hadist, mengemukakan banyak kritik dan pertanyaan yang mengusik alam pikiranya, menguak dengan hujah-hujah periwayatan (naql), filosofis dan historis. Baginya tak ada perbedaan substansial antara ummat islam hari ini, konflik yang pernah terjadi adalah konflik politik masa lalu yang sudah seharusnya dilupakan dan di benam jauh dari alam pikiran umat islam. Dan untuk itulah buku ini di tulis agar kita bisa belajar banyak dari kecerobohan sejarah, mencari inspirasi kebangkitan dan memilih mengambil ibrahnya agar tak lagi terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Dan untuk itu pulalah anda harus merasa perlu membaca buku ini. Wallahu a'lam.
Wacana Negara dalam islam; Perspektif Syaikh Yusuf al Qardhawi*
Nilai dan prinsip Negara dalam islam
Pertama, madani. Bentuk Negara dalam islam selalu disalahpahami sebagai Negara agama (daulah diniyah) dan theokrasi. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dalam memahami Negara islam. Banyak pihak menghawatirkan bahwa penerapan syari'at dalam bernegara dianggap sebagai perpanjangan dan pengulangan kembali sejarah kelam eropa Kristen. Dimana otoritas gereja dan kaum agamawan menjadi kebenaran yang tak terbantahkan, memberi status pada dirinya sebagai perpanjangan tangan tuhan, mengklaim bahwa mereka melakukannya atas nama tuhan (al haq ilahi ), apa yang keluar dari mulutnya demikianlah tuhan berfirman. Seperti disinggung diatas, islam tak mengenal otoritas apapun, terlebih otoritas penguasa dengan atas nama tuhan. Abu bakar as sidiq ra. dalam khutbah pembaitannya berkata "aku di bai'at menjadi pemimpin kalian bukan berarti aku yang paling baik dari kalian" (inni wulitu alaikum walastu bikhairikum). Usman ra. juga pernah berucap "amri liamrikum tubi'a". atau umar ra. yang berkata "jika aku salah maka gantikan aku". Demikian juga ucapan ali ra. "aku salah dan anda benar". Otoritas dalam islam hanya milik Allah swt. sebagai penguasa mutlak, otoritas inilah yang akan membatasi kesewenangan pemimpin. Namuin demikian, hal ini tak menutup bagi terbukanya kreasi (hak) manusia (pemimpin dan penguasa) dalam upaya menciptakan tatanan masyarakat madani dan kemaslahatan bersama selama masih dalam koridor umum syari'at islam (maqashid al syariah al kulliah). Dari sini Dr. Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa Negara islam adalah Negara madani yang terbentuk didasarkan pada syariat, agar kebijakan manusia tidak melampui batas-batas wajar yang ditetapkan islam, menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Islam bukan Negara agama dan theokrasi seperti yang dipahami barat. Makna Islam lebih luas dari agama, ulama ushul mengkategorikan agama (din) sebagai salah satu yang harus hormati, menyusul setelahnya akal, jiwa, nasab dan harta. Kedua, daulah alamiyah. Negara islam bukanlah Negara bagi golongan atau ras tertentu, beliau juga berpendapat sejatinya Negara islam tak dibatasi oleh batas-batas alam dan geografi, sebuah Negara yang terbuka bagi setiap muslim atas pilihan yang bebas tanpa tekanan dan paksaan, menyatu atas kesaaman iman dan tauhid. Negara islam bukan penerapam syari'at pada satu tempat atau daerah, tapi mengatur ummat dengan islam. Dari sana, menurutnya Negara islam berdiri atas tiga dasar: 1. kesatuan wilayah (wihdah darul islam), dalam kemajemukan bangsa. 2. persamaan rujukan hokum tertinggi (al qur'an dan sunnah) 3. kesatuan kepemimpinan tertinggi (imam, khalifah, presiden dst.). namun demikian, tak mengapa jika negara islam di mulai dari suatu kawasan tertentu dulu. Ketiga, Negara hukum. Negara islam adalah Negara hukum, memiliki undang-undang yang merujuk pada al qur'an dan sunnah. (al maidah, 44,45,47,49,50). Setiap warganegara terikat oleh hukum, wajib mentaatinya. Keempat, al syura. Negara islam bukan Negara kekaisaran, yang menjadikan kekuasaan hak keluarga dan keturunan tertentu. Islam secara tegas menolak hal itu (as shaffat, 13. al baqaroh, 124). prinsip Negara islam dalam hal ini sama seperti dalam demokrasi. Islam sejalan dengan demokrasi dalam hal pemimpin wajib bertanggungjawab terhadap rakyatnya secara hukum. Rakyat berhak memilih pemimpinnya, mengawasi dan bahkan menggesernya kembali jika menyimpang. Adalah kewajiban mengingatkan muslim yang lain apapun kedudukan dan martabatnya jika menyimpang (at taubah, 71). Beliau menegaskan bahwa al syura dalam konsep Negara islam bukan sekedar anjuran tapi sebuah kewajiban dan komitmen yang harus dipegang. Menanggapi sebagian ulama yang masih menafsirkan alsyura dalam ayat "dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (al 'azm), maka bertawakkallah kepada allah" (ali imran-159), sebagai anjuran belaka (mu'limah), seorang pemimpin boleh meminta pendapat dan pertimbangan pada dewan permusawaratan tanpa harus memegang dan mengikuti kesepakatan dalam musyawarah, Dr. Yusuf qardhawi menganggapnya sebagai pemahaman yang keliru atau mungkin tak relevan, mengingat dunia islam kini sejatinya sedang di hadapkan pada tantangan menghapus peguasa tirani dan otoriter dan mewujudkan kebebasan berpolitik sebagai kebutuhan yang mendesak. Karena jika demikian al syura kehilangan maknanya. Ibnu kasir dalam menafsirkan ayat ini, menukil dari ibnu marduiwih dari ali ra. ketika ditanya tentang makna kata al 'azm beliau berkata, "mendiskusikannya dalam musyawarah bersama kaum cerdik pandai (ahlu ra'yi) dan berkomitmen memegang kesepakatan. Jika ada dua pendapat dalam hal ini, maka yang kedualah baginya yang lebih relevan. Kelima, keenam dan ketujuh: petunjuk (al hidayah), pembela kaum lemah, penjamin hak dan kebebasan, dan negara penuh nilai dan etika. Negara islam harus punya perhatian yang besar pada dakwah islamiyah, seperti yang dilakukan oleh nabi saw. dengan mengirim surat ajakan memeluk agama tauhid kepada para penguasa kala itu, atau paling tidak agar dunia memahami islam yang rahmatan lil alamin. Negara islam adalah negara pembela kaum lemah, menarik zakat dari kaum kaya, memberdayakannya menjadi pembantu menopang kekuatan ekonomi bagi kaum fakir miskin dan ashnaf lainya yang berhak. Bukan sebaliknya menjadi kendaraan bagi golongan tertentu menumpuk harta kekayaan tanpa menghiraukan masyarakat lapisan bawah, (al hasr, 7). Selanjutnya, Negara islam juga Negara yang menjamin penuh hak-hak dan kebebasan. Hak hidup dan hidup layak, hak kepemilikan harta, menjaga kehormatan dan nasab, dan hak memilih keyakinan agama menjadi prioritas yang harus dijamin dalam islam. Demikian juga halnya dengan kebebasan. Berekspresi dan berpendapat, beragama dan bermazhab, berpikir dan berijtihad. Demikian juga nilai dan etika dalam bernegara. Islam menegaskan tujuan mulia dan bersih perantaranya, islam tak mengenal penghalalan semua cara meski untuk tujuan yang mulia, "inna allah thoyiib la yaqbalu illa thayyiba" (hadist).
Beberapa sikap yang harus diluruskan
Syaikh yusuf qardhawi mengakui masih banyak sikap berpolitik umat islam yang salah kaprah yang harus di luruskan. Puncanya adalah kurangnya pendalaman yang serius dalam mengkaji hal ini. Beliau mencontohkan, banyak kalangan yang menganggap bahwa syura hanya anjuran dalam Negara islam. Memberikan wewenang kepada pemimpin mengumumkan perang tanpa merujuk pada dewan permusyawaratan sebagai wakil rakyat. Dan mengklaim kafir menjadikan demokrasi dalam bernegara. Ada juga golongan yang mendiskriminasikan perempuan tak berhak berpolitik dan memberikan hak suara dalam pemilihan bahkan dalam pendidikan. Mengklaim menetapkan multi-partai dalam Negara islam bertentangan dengan islam. Kasus ulama afganistan misalnya, berfatwa pendidikan bagi perempuan, syuro, pemilu dan pembatasan masa kekuasaan, haram hukumya. Menurutnya, ada beberapa kesalahan mendasar yang mereka lakukan dalam menyimpulkan hukum. Pertama, mencampur-adukan antara urusan yang bersifat amaliyah dengan akidah. Politik bersifat amaliyah yang mengandung nilai salah dan benar, dimana hal ini disamakan dengan ijtihad, tetap mendapat imbalan satu jika salah dan dua jika benar. Salah jika mengaitkanya dengan iman dan kafir. Klaim kafir dalam hal ini hanya mengulang sejarah kaum khawarij yang mengkafirkan Ali ra. dan pengikutnya dalam kasus tahkim. Kedua, antara sunnah dan bid'ah. Membatasi masa jabatan bagi pemimpin dianggap bid'ah karena menghadirkan hal baru (bid'ah) dalam islam, sedangkan setiap bid'ah adalah sesat. Premis kedua dari ungakapan (qiyas) diatas memang benar, ulama juga sepakat bahwa bid'ah itu sesat. Tapi, adalah kesalahan besar atau kesesatan yang sebenarnya saat berasumsi bahwa islam menentang setiap sesuatu yang baru atas nama bid'ah. Bid'ah dalam islam adalah menambahkan sesuatu yang baru murni dalam urusan agama, seperti akidah dan ibadah. Adapun dalam urusan kehidupan dan realitas yang terus bergerak termasuk dalam berpolitik diposisikan dalam bingkai kemaslahatan bersama (al maslahah al mursalah). Seperti para sahabat yang juga melakukan hal yang sama. Pembukuan mushaf dan penulisan hadist adalah contoh kecil apa yang dilakukan sahabat dan tak dilakukan nabi saw.. ketiga, kesalahan memposisikan sirah dalam berhujjah. Mencampur adukkan antara sunnah dan siroh dalam berhujjah menjadi bagian rentetan kesalahan yang lain. Sunnah memang menjadi sumber kedua dalam islam. Namun adalah kesalahan jika memposisikan siroh seperti posisi sunnah dalam berhujjah.. Karena siroh bukanlah sunnah, ulama ushul pun tak pernah memasukkan siroh ke dalam definisi sunnah. Ada dua hal yang patut di perhatikan mengenai siraoh. Pertama, dalam siroh ada banyak peristiwa yang periwayatannya tidak shahih. Dalam hal ini proses pemyeleksian siroh tidak seketat dalam sunnah. Kedua, mayoritas siroh dimasukkan dalam kategori perbuatan nabi saw.(fi'li atau amali). Dalam hal ini, siroh membutuhkan dalil dari al qur'an dan sunnah untuk sampai pada tahap wajib, jika tidak, siroh tak lebih mengandung hukum boleh. Benar kita dituntut menjadikan nabi saw . sebagai panutan (al ahzab: 21), namun ayat tersebut hanya mengandung muatan hukum anjuran mengikuti bukan wajib.
Demokrasi dan islam
Dr. Yusuf qardhawi menganggap aneh sebagian orang yang menilai bahwa menerapkan demokrasi adalah kemunkaran dan kafir. Hal ini menurutnya adalah penilaian yang tidak didasari pengetahuan yang mendalam tentang demokrasi. Tak mengindahkan kaedah paten yang digunakan ulama "al hukmu ala syai'i far'un 'an tashawwurihi". Artinya, sebuah produk hukum sangat erat kaitannya pada sejauh mana mengetahui hakekat objek yang di kaji. Jika pengetahuan itu tidak memadai maka hukum yang disimpulkan dianggap salah, jikapun kebetulan benar hal itu dianggap serampangan dan membabi buta, seperti memanah tanpa menggunakan panah. Substansi demokrasi menurutnya jauh dari definisi-definisi akademis. Substansi demokrasi sesungguhnya adalah hak rakyat memilih pemimpin yang akan membawa kepentingan rakyat, mencegah terbentuknya penguasa yang tak diharapkan. Substansi demokrasi adalah hak rakyat mengoreksi penguasa, hak menurunkan dan menggantinya jika menyimpang. Inilah substansi demokrasi sesungguhnya dibalik sistem-sistem praktis dalam demokrasi seperti pemilu, dewan legislatif, penetapan pilihan mayoritas, multi-partai, hak-hak minoritas dan oposisi, kebebasan pers, independensi yudikatif dst. Substansi demokrasi beliau nilai sejalan dengan islam. Jauh sebelum demokrasi muncul, islam sudah mengemukakan kerangka ini, hanya saja secara umum dan global, agar di mungkinkan bagi terbukanya lapangan ijtihad bagi umat islam untuk terus menyelaraskan kemaslahatan agama dan dunia dalam kehidupan realitas yang terus bergerak sesuai tuntutan zaman. Untuk itu umat islam tetap dituntut berfikir mencari model terbaik. Namun demikian, adalah kebutuhan yang mendesak guna menciptakan keadilan, menerapkan al syura, menjamin hak-hak manusia dan memerangi penguasa tirani, beliau menilai, dan merujuk pada kaedah "ma la yutimmu illa bihi fahuwa wajib", bahwa demokrasi adalah solusi terbaik. Karena dalam islam pun tak ada larangan mengambil hikmah dari golongan lain selama sejalan dengan islam itu sendiri. Wallahu a'lam bi shawab.
*Tulisan ini hanyalah pemahaman terbatas dari penulis, yang di simpulkan secara umum dari bukunya 'fiqhu daulah fil islam' dan 'fatawa mu'ashiroh'
Ummu Dunya
Beberapa bulan saya sampai di mesir, bahkan sampai beberapa tahun, saya geli dengan mesir yang menjuluki dirinya dengan ummu dunya. Ummu berarti ibu, dan dunya ya artinya dunia, jadi mesir adalah ibu dunia. Orang mesir sangat bangga menyebut negaranya sebagai ummu dunya tanpa sedikitpun merasa risih dengan julukan –yang bagi saya waktu itu- sangat berlebihan. "Mungkin hal itu adalah luapan nasionalisme dan fanatik ke araban mereka". Begitu pikirku waktu itu.
Keadaan mesir yang biasa-biasa saja, itulah yang membuat saya geli dengan julukan itu. Situasi kota kairo sebagai ibu kota yang sangat sumpek, lalu lintas yang amburadul dan urusan administrasi juga sangat super ruwet. Anda bayangkan, ribuan mahasiswa asing biasanya mengurus visa setahun ke depan di bulan oktober sampai September, karna tahun ajaran baru di mulai bulan agustus, otomatis mahasiswa juga berdatangan di bulan itu. Anda tau, mahasiswa Indonesia dan Malaysia yang jumlahnya sampai 10 ribuan hanya di sediakan untuk mereka satu kantor imigrasi kecil –mahasiswa asing lainya juga di kantor itu- yagn jauh dari layak, tanpa ruang tunggu apalagi AC, dan jadwal untuk mereka -mahasiswa Indonesia-malaysia- hanya sekali dalam seminggu yaitu hari sabtu, kantor buka jam 09.00 dan pegawainya baru mulai kerja setengah jam setelah itu karena minum teh dulu atau bahkan sarapan dulu dan tutup jam 14.00. lalu anda bisa bayangkan antrian panjang seperti ular tak berekor, seharian antri berdiri dan berdempetan hasilnya hanya sebagian kecil yang mendapat layanan pegawai imigrasi, selebihnya harus mencoba lagi penuh kecewa.
Kondisi dan situasi seperti itu terjadi setiap tahun layaknya gawean tahunan. Untuk mendapat antrian depan sebagian mahasiswa ada yang berangkat subuh menunggu di gerbang kantor yang buka jam Sembilan itu, sambil baca-baca diktat kuliah karna di akhir desember sudah mulai ujian. Itulah sedikit dari banyak sebab mengapa saya tidak setuju dengan julukan di atas. Tapi, tapi semuanya bisa berubah, penilaian juga bisa berubah karna penilain bisa berasal dari banyak sudut pandang. Dulu saya menilai ummu dunya dari sisi kemajuan mungkin; kemajuan sains-teknologi dan manajemen, pengaruh dalam percaturan politik internasional atau lain sebagainya dan secara bersamaan mengabaikan sisi-sisi yang lain yang bisa jadi sisi-sisi yang terabaikan itulah esensi sebenar dari makna ummu dunya.
Dua hari yang lalu, saya nonton bola di sebuah kafe tak jauh dari tempat rumah sewaan, saya baru dua kali masuk kafe itu karena memang baru tau, karyawannya hanya satu, duduk sang empunya kafe di meja kasir sambil nonton bersebelahan dengan saya, keduanya sangat ramah layaknya orang mesir. Hari itu ada partai seru piala uero 2008 babak penyisihan, prancis vs belanda. "Ya Muhammad, inta bitsagga' min?"1. kata sang empu kafe yang mengenalkan namanya abu Mansur itu. "ana bisagga' faransa, hulanda da musta'mir andunisia"2. Jawabku yang mengenalkan padanya sebagai Muhammad3, sambil bergurau tentunya. "wa faransa da musta'mir masr, ana bisagga' hulanda"4. Katanya sambil ketawa.
Pertandingan memang seru, berkali-kali abu Mansur menepuk-nepuk pundak saya saat serangan belanda mengancam gawang prancis, lalu ia ketawa girang menyalami saya saat di menit Sembilan serangan belanda menghasilkan goal lewat penyerang tangguhnya kyut. Pun, saya tak kalah antusias, beberapa kali mulut ini secara reflek berteriak dan tak henti-hentinya mengubah gaya duduk seorang yang resah, saat itulah saya menyenggol meja yang diatasnya ada sebotol cocacola masih penuh dan segelas teh milik abu Mansur, semuanya tumpah dan pecah. Saya tau diri sebagai orang bersalah, berkali-kali saya minta maaf dan coba meyakinkan bahwa saya tak sengaja, terus terang saya takut di sebut sebagai orang tak beretika, bergegas saya cari kain pengelap untuk membereskan semuanya. Abu Mansur ketawa melihat saya seperti kalut ketakutan. Muhammad, katanya sambil tersenyum. Kamu jangan kalut seperti itulah, mesir itu ummu dunya, penyayang dan pemaaf, sangat menghormati tamu, kami tak akan marah apalagi menghukum kamu. Karyawannya pun tampak ketawa melihat saya, abu Mansur menolak saya membereskan dan membayar kerugian semuanya walaupun saya bersikeras, lalu ia yang membereskannya sendiri.
Selesai saya hanya disuruh membayar minuman yang saya pesan. "mabruk 'ala faransa"5. Katanya bergurau mengejek tim yang saya dukung kalah telak 1-4. "besok nonton sini lagi ya, saya terhibur nonton sama kamu". Abu Mansur berujar sebelum saya pulang.
Ummu dunya. Ya, saya punya sudut pandang lain sekarang tentang julukan itu. Ummu dunya tak ada kena-mengena dengan kemajuan. Ibu adalah lambang kelembutan, identik dengan kasih sayang, pemaaf dan penuh perhatian dll, itulah esensi sebenar yang selama ini terabaikan oleh penilaian saya. Mau tau kebaikan orang mesir?...Sehari setelah itu saya dan kawan serumah dapat undangan makan di rumah seorang jiran, abu amar namanya, kalau tak salah sudah tiga kali ini, selesai makan kami shalat maghrib bersama, baca yasin dan do'a. saya begitu terharu abu amar mengkhususkan do'anya untuk kami dengan tangis tersedu. Tak hanya do'a, beras 25kg dan minyak goring 5 liter ia berikan pada kami, ia tau betul keadaan kami di tambah lagi kala mesir sedang dilanda krisis seperti ini.
Orang mesir sangat peduli pada mahasiswa asing, tak jarang para dermawan dan lembaga-lembaga social memberikan bea siswa atau sekedar sumabangan pada mahasiswa asing kurang mampu atau yang berprestasi. Sekarang misalnya, saat krisis seperti ini, ada sebuah lembaga yang menamakan dirinya jam'iyyah syar'iyyah memberi bantuan pada ribuan mahasiswa asing berupa beras 5 kg, gula 1 kg, minyak goring 1 liter, uang 50 pounds dll per-orang dan perbulan. Jam'iyyah syar'iyyah adalah satu dari banyak lembaga-lembaga social itu, dan abu amar adalah satu dari banyak dermawan-dermawan itu.
Masih banyak sebenarnya hal-hal serupa yang tak bisa saya ungkap disini, semakin saya kenang semuanya, semakin saya malu pada penilaian saya dulu yang tergesa-gesa itu. Dan sekarang, saya pun ikut bangga menjuluki mesir sebagai ummu dunya. Tak semua orang mesir baik memang, tapi kebaikandan keibuan orang mesir cukup saya rasakan. Wallahu a'lam
Kairo, 15 juni 2008
1 Kamu dukung siapa Muhammad?
2 Aku dukung prancis, belanda penjajah indonesia
3Lihat tulisan yang lain, "arti sebuah nama"
4Dan prancis penjajah mesir, aku dukung belanda
5 Selamat untuk prancis!