Judul buku : Tathowur al fikr al siyasi al syi'I, min al syuro ila wilayah al faqih
Penulis : Ahmad al Katib
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Ketiga, 2005
ISBN : 9953-29-872-6
Terminology Syi'ah sudah muncul di kurun pertama hijriah sebagai sebutan bagi pengikut imam Ali bin Abi Thalib saat berhadapan dengan pengikut mu'wiyah atau klan Abi Sufyan, atau lebih tepatnya Syi'ah adalah golongan yang lebih mendahulukan Ali ra. sebagai khalifah dari sahabat-sahabat lain. Lalu muncul terminology imamiyah di kurun kedua hijriah dalam tubuh syi'ah karena keyakinan mereka bahwa kema'suman dan nash ilahi adalah syarat bagi seorang pemimpin. Di kurun empat hijriah muncul pula terminology istna asyariyah, sebuah sebutan bagi golongan syi'ah yang meyakini kelahiran dan keabadian imam kedua belas (Muhammad bin al Hasan al 'askari). Fakta diatas adalah gambaran betapa sebuah ideology –syi'ah- berkembang di bawah bebayang politik yang mencoba menyelaraskannya dengan agama, atau mungkin sebaliknya.
Kendati kita tau, syi'ah – imamiyah itsna 'asyariah- dalam rentang sejarah yang panjang mendirikan banyak Negara, tapi konon itu semua hanyalah percobaan politik belaka (dual siyasah bahtah, atau ghoiru aidulujiah) tanpa diembel-embeli ideologi islam-syi'ah itsna asyariah. Baru kemudian republik islam yang berdiri di Iran di penghujung abad 14 hijriah adalah Negara syi'ah pertama yang sesungguhnya bagi mereka. Semua itu berjalan melewati tahap-tahap pemikiran politik syi'ah yang sangat rumit. Diawali sejak menghilangnya imam Muhammad Hasan al askari, imam kedua belas (tokoh al mahdi al muntazhor dalam syi'ah istna asyariyah) di pertengahan abad 3 hijriah, lalu munculah teori penantian (nazhoriyah al intizhor – menanti kembalinya sang imam) dalam teologi politik syiah, karena bagi mereka pemimpin adalah ma'sum dan dipilih langsung oleh allah swt, pemimpin adalah orang-orang pilihan tertentu dari golongan ahlul bait, dan bernegara bukan hanya urusan duniawi belaka. Maka bernegara tanpa hadirnya imam yang memenuhi syarat di atas adalah mustahil. Bagi mereka imam adalah segalanya, izin sang imam seakan menjadi standar penilaian sah-tidaknya suatu pekerjaan dilakukan. Dari sinilah kefakuman politik syiah istna asyariah di mulai, pintu ijtihad pun di tutup, berbagai permasalahan agama muncul menanti jawabnya.
Masa ini (asrul intizhor ), berjalan menghabiskan rentang waktu yang cukup panjang, sampai akhirnya pintu ijtihad di buka kembali, berbagai gejolak pemikiran saling beradu dan berkembang secara bertahap menghadapi krisis ini. Hasilnya cukup memuaskan, secara bertahap pula tentunya. Sholat jum'at misalnya, yang sebelumnya sempat di tiadakan (diharamkan) karena dianggap hilangnya salah satu rukunnya (izin sang imam ) kembali di perbolehkan bahkan diwajibkan, disatu sisi (fiqih). Di sisi lain (politik), keberhasilan melepaskan diri dari belenggu doktrin penantian adalah perkembangan besar dalam pemikiran politik syiah, puncaknya adalah munculnya gagasan wilayatul faqih yang turut menginspirasi kesuksesan besar dalam revolusi Iran 1979.
Ahmad al Katib, pengarang buku ini, yang menurut pengakuannya, menghabiskan waktu hingga sepuluh tahun lebih dalam studi syi'ah ini, dengan sangat jeli menganalisa perkembangan pemikiran politik syiah dari 'asrul awa'il sampai ke 'asrul hadist, mengemukakan banyak kritik dan pertanyaan yang mengusik alam pikiranya, menguak dengan hujah-hujah periwayatan (naql), filosofis dan historis. Baginya tak ada perbedaan substansial antara ummat islam hari ini, konflik yang pernah terjadi adalah konflik politik masa lalu yang sudah seharusnya dilupakan dan di benam jauh dari alam pikiran umat islam. Dan untuk itulah buku ini di tulis agar kita bisa belajar banyak dari kecerobohan sejarah, mencari inspirasi kebangkitan dan memilih mengambil ibrahnya agar tak lagi terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Dan untuk itu pulalah anda harus merasa perlu membaca buku ini. Wallahu a'lam.
Penulis : Ahmad al Katib
Penerbit : Maktabah Madbouli
Cetakan : Ketiga, 2005
ISBN : 9953-29-872-6
Terminology Syi'ah sudah muncul di kurun pertama hijriah sebagai sebutan bagi pengikut imam Ali bin Abi Thalib saat berhadapan dengan pengikut mu'wiyah atau klan Abi Sufyan, atau lebih tepatnya Syi'ah adalah golongan yang lebih mendahulukan Ali ra. sebagai khalifah dari sahabat-sahabat lain. Lalu muncul terminology imamiyah di kurun kedua hijriah dalam tubuh syi'ah karena keyakinan mereka bahwa kema'suman dan nash ilahi adalah syarat bagi seorang pemimpin. Di kurun empat hijriah muncul pula terminology istna asyariyah, sebuah sebutan bagi golongan syi'ah yang meyakini kelahiran dan keabadian imam kedua belas (Muhammad bin al Hasan al 'askari). Fakta diatas adalah gambaran betapa sebuah ideology –syi'ah- berkembang di bawah bebayang politik yang mencoba menyelaraskannya dengan agama, atau mungkin sebaliknya.
Kendati kita tau, syi'ah – imamiyah itsna 'asyariah- dalam rentang sejarah yang panjang mendirikan banyak Negara, tapi konon itu semua hanyalah percobaan politik belaka (dual siyasah bahtah, atau ghoiru aidulujiah) tanpa diembel-embeli ideologi islam-syi'ah itsna asyariah. Baru kemudian republik islam yang berdiri di Iran di penghujung abad 14 hijriah adalah Negara syi'ah pertama yang sesungguhnya bagi mereka. Semua itu berjalan melewati tahap-tahap pemikiran politik syi'ah yang sangat rumit. Diawali sejak menghilangnya imam Muhammad Hasan al askari, imam kedua belas (tokoh al mahdi al muntazhor dalam syi'ah istna asyariyah) di pertengahan abad 3 hijriah, lalu munculah teori penantian (nazhoriyah al intizhor – menanti kembalinya sang imam) dalam teologi politik syiah, karena bagi mereka pemimpin adalah ma'sum dan dipilih langsung oleh allah swt, pemimpin adalah orang-orang pilihan tertentu dari golongan ahlul bait, dan bernegara bukan hanya urusan duniawi belaka. Maka bernegara tanpa hadirnya imam yang memenuhi syarat di atas adalah mustahil. Bagi mereka imam adalah segalanya, izin sang imam seakan menjadi standar penilaian sah-tidaknya suatu pekerjaan dilakukan. Dari sinilah kefakuman politik syiah istna asyariah di mulai, pintu ijtihad pun di tutup, berbagai permasalahan agama muncul menanti jawabnya.
Masa ini (asrul intizhor ), berjalan menghabiskan rentang waktu yang cukup panjang, sampai akhirnya pintu ijtihad di buka kembali, berbagai gejolak pemikiran saling beradu dan berkembang secara bertahap menghadapi krisis ini. Hasilnya cukup memuaskan, secara bertahap pula tentunya. Sholat jum'at misalnya, yang sebelumnya sempat di tiadakan (diharamkan) karena dianggap hilangnya salah satu rukunnya (izin sang imam ) kembali di perbolehkan bahkan diwajibkan, disatu sisi (fiqih). Di sisi lain (politik), keberhasilan melepaskan diri dari belenggu doktrin penantian adalah perkembangan besar dalam pemikiran politik syiah, puncaknya adalah munculnya gagasan wilayatul faqih yang turut menginspirasi kesuksesan besar dalam revolusi Iran 1979.
Ahmad al Katib, pengarang buku ini, yang menurut pengakuannya, menghabiskan waktu hingga sepuluh tahun lebih dalam studi syi'ah ini, dengan sangat jeli menganalisa perkembangan pemikiran politik syiah dari 'asrul awa'il sampai ke 'asrul hadist, mengemukakan banyak kritik dan pertanyaan yang mengusik alam pikiranya, menguak dengan hujah-hujah periwayatan (naql), filosofis dan historis. Baginya tak ada perbedaan substansial antara ummat islam hari ini, konflik yang pernah terjadi adalah konflik politik masa lalu yang sudah seharusnya dilupakan dan di benam jauh dari alam pikiran umat islam. Dan untuk itulah buku ini di tulis agar kita bisa belajar banyak dari kecerobohan sejarah, mencari inspirasi kebangkitan dan memilih mengambil ibrahnya agar tak lagi terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Dan untuk itu pulalah anda harus merasa perlu membaca buku ini. Wallahu a'lam.
2 komentar:
di mana beli bukunya ustaz?
kalau anda di timur tengah atau punya teman dsn, sy kira ada di toko buku2. tp di indonesia sy kurang tau..heee..
Posting Komentar